Gading Mataram : Sejarah Bantul 1678-1942

Published by

on

Setelah tidak lagi menjadi pusat dari pemerintahan Mataram, wilayah Pleret dan sekitarnya yang masa sekarang (2023) merupakan bagian dari Kabupaten. Bantul-oleh G.P. Rouffaer diterangkan berubah nama menjadi Gading Mataram. Secara goegrafi. wilayah Gading Mataram merupakan kawasan di pesisir selatan, antara Sungai Bogowonto, Sungai Progo, dengan Sungai Opak. Wilayah inilah yang kemudian secara sosiologis memberikan dukungan politis kepada Pangeran Mangkubumi ketika mendirikan Kasultanan Yogyakarta setelah Perjanjian Giyanti 1755. Lebih dari itu, kawasan Gading Mataram kemudian berubah menjadi wilayah Kabupaten Bantoel Karang yang pemerintahannya dirintis setelah berakhirnya Perang Jawa.

Pasca Perang Jawa dan munculnya cultuurstelsel, secara umum pemerintah kolonial berusaha melakukan refeodalisasi kekuasaan bupati. Kekuasaan bupati atas desa dikembalikan, tetapi tidak seperti semula. Pengaruh dan kekuasaan bupati dipergunakan untuk menggerakkan ekonomi perkebunan yang berkembang di wilayahnya (indigo, nopal, kopi, dan tebu). Pada 1870, melalui Agrarische Wet perkebunan Indonesia mengalami perkembangan menuju proses industri. Perusahaan perkebunan di Indonesia adalah salah satu pilar ekonomi Hindia Belanda dan merupakan bagian integral dari eksploitasinya terhadap sumber daya alam dan tenaga kerja lokal. Perkebunan ini menjadi landasan bagi industri ekspor kolonial Belanda yang sangat menguntungkan. Bantul merupakan daerah Vorsieniander, bahwa pada daerah ini tidak diterapkan sistem cultuurstelsel. Meskipun demikian, Bantul juga mengalami perkembangan dalam perekonomian industri perkebunan.

Selepas hadirnya aturan agraria 1870, wilayah Bantul mengalami perubahan lanskap tanah pedesaan. Para penyewa tanah Eropa (landhuurder) datang ke wilayah Bantul. Perkebunan-perkebunan. nila kemudian berganti menjadi perkebunan-perkebunan tebu-termasuk juga tembakau-meluas dan bertahan hingga awal abad ke-20, sebelum meredup karena krisis ekonomi 1930-an. Saat itu bisnis gula merajalela, pabrik-pabrik didirikan di wilayah Bancul pada paruh kedua abad ke-19. Pada 1912, terdapat delapan pabrik gula yang beroperasi di distrik Imogiri, Jejeran, Srandakan Panggang, Kretek, dan Cepit dengan produksi puluhan ribu pikul dalam satu tahun setidaknya pada akhir 1880-an).